Pendidikan Hukum ; Reorientasi pemahaman hukum substansial

Kamis, 14 Juli 2011

Eksklusifitas Pendidikan Agama dalam Pluralitas Bangsa Indonesia


Ekslusifitas Pendidikan Agama dalam Pluralitas Bangsa Indonesia

Indonesia merupakan negara pluralis, baik ras, suku, bahasa, adat istiadat, maupun agama. Wujud keberagaman itu disimbolkan melalui Bhineka Tunggal Ika yang mempunyai makna filosofi dalam kehidupan kebersamaan bagi masyarakat Indonesia, termasuk dalam konsep pendidikan yang ada. Pendidikan yang bertujuan untuk persaudaraan dan perdamaian.


            Maraknya konflik dan pertikaian yang terjadi dengan mengatas namakan agama, kerusuhan, terorisme dan pengrusakan tempat-tempat ibadah, merupakan beberapa contoh dari sikap keberagamaan yang masih saling mencurigai antara agama yang satu dengan yang lainya. Hal ini merupakan cerminan dari wujud kegagalan para pemuka agama yang seharusnya mengajarkan perdamaian. Haedar Nashir dalam bukunya Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern menyebutkan bahwa konflik yang muncul di Indonesia, antara lain dipengaruhi oleh stratifikasi sosial, kepentingan ekonomi dan politik, faham atau penafsiran agama, mobilitas keagamaan, dakwah umat dan keyakinan agama.
Dengan demikian pemicu konflik, lebih disebabkan karena persoalan agama. Dan ironisnya seringkali agama dijadikan alat propaganda dan legitimasi terhadap persoalan ekonomi dan politik. Sehingga agama kehilangan fungsinya sebagai penjaga cinta kasih dan keselamatan di tengah-tengah sistem sosial yang haus kekayaan dan kekuasaan. Melalui pengajaran agama, orang dapat menaburkan bibit kebencian dan menciptakan individu pemeluk agama tertentu masuk dalam bingkai sektarian untuk membenci pemeluk agama lain.

Kegagalan Pendidikan Agama
            XX yang merupakan pengasuh pondok pesanteren XX Salatiga menguraikan,   bahwa pendidikan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan individu dan masyarakat, merupakan salah satu media yang efektif untuk mewujudkan masyarakat yang dinamis di tengah pluralitas agama, dan sekaligus dapat memicu terjadinya konflik agama jika pendidikan dilakukan dengan cara yang tidak tepat. “ Melaui pendidikan, manusia diperkenalkan tentang eksistensi diri, hubunganya dengan sesama, alam dan Tuhanya. Sehingga idealnya pendidikan agama yang berlangsung selama ini, seharusnya dapat mengantisipasi dan mencari solusi terhadap terjadinya pertikaian, perselisihan dan konflik lainya yang berakar dari persoalan agama”, tambah XX.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan Abu Hafsin yang merupakan dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo, bahwa Pemahaman pluralisme secara sosiologislah yang sebenarnya perlu diterapkan, bahwa pendidikan harus mendasarkan pada keyakinan  jika negara ini dibangun atas keberagaman, berbagai macam aliran kepercayaan dan agama. “ Anak harus mengetahui sejak dini, bahwa kita tidak hidup dalam satu keyakinan agama dan negara bukan milik salah satu umat tertentu”, ujar Abu Hafsin.
            Abu Hafsin yang juga merupakan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa tengah menambahkan bahwa terdapat beberapa hal yang menyebabkan kegagalan pendidikan agama dalam menanggapi pluralitas bangsa Indonesia. Diantaranya, pendidikan agama yang tekstual dan inklusif, menekankan pembelajaran pada transfer of knowledge saja, bukanya penanaman nilai-nilai moral dan keagamaan kepada peserta didik. Selanjutnya, pendidikan agama tidak mengajarkan anak untuk menjadi pemeluk agama yang baik dan menghargai kemajemukan bangsanya, serta sikap apresiatif terhadap local wisdom. “ anak sudah diasingkan dari budayanya, pendidikan agama tidak mengajarkan toleransi ataupun nilai-nilai kasih sayang dalam menanggapi keberagaman”, ketus Abu Hafsin.
“ Hal penting yang sebenarnya dapat dilakukan adalah pendidikan agama perlu direkontruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi sosial, tidak semata-mata individual dan untuk memperkenalkan konsep social-contract. Sehingga pada diri peserta didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman, credo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan kehidupan bersama, mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerjasama (cooperation) dalam bentuk kontrak sosial antar sesama kelompok warga masyarakat”, seperti yang diungkapkan Syamsul Ma’arif dalam annual conference di lembang, Bandung.

Pendidikan Moral Pancasila
            Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dan toleransi serta mampu menjadi platform mutlak perlu dilakukan dalam kehidupan bangsa yang majemuk, sehingga upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang menerima keberagaman dapat tercapai.. “Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang merupakan transformasi dari pendidikan moral pancasila, seharusnya mampu dijadikan sebagai solusi dari permasalahan diatas. Dihapuskanya pendidikan pancasila dan kewarganegaraan menjadi hanya pendidikan kewarganegaraan di semua tingkat pendidikan mengakibatkan ditinggalkanya nilai-nilai pancasila, termasuk kerukunan dan toleransi antar umat beragama”, tegas Nuril Arifin.
            Gus Nuril Arifin yang merupakan pengasuh pondok pesantren soko tunggal Semarang ini mengungkapkan, bahwa pancasila hanya dimaknai secara seremonial dan belum mengakar di hati bangsa Indonesia. Pasca dihapuskanya pendidikan pancasila dan kewarganegaraan ini pun muncul kegelisahan dari beberapa pihak. Beberapa guru di semarang mengatakan bahwa sangat sulit kini untuk menanamkan nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong dan toleransi beragama kepada siswa, karena pendidikan kewarganegaraan lebih menekankan pada aspek hafalan dan wacana. “ Hal ini ditambah pula dengan materi yang diajarkan didalamya, seperti hakikat negara, bentuk-bentuk negara, sistem peradilan dan lembaga peradilan, bukanya mendidik karakter siswa untuk menghargai keberagaman bangsa dan toleransi antar umat beragama “ ungkap Zainal Abidin, guru PKn SMP 2 Semarang.
            Gus Nuril juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan mengkhianati dan justru mengabaikan nilai-nilai pancasila dalam praktik kebijakan pendidikan nasional. Pendidikan moral pancasila sebenarnya mengajarkan tentang nilai kebangsaan dan keteladanan untuk menerima keberagaman. “ Sudah sepatutnya pendidikan moral pancasila diberlakukan kembali, sebagai solusi pendidikan yang berdiri diatas pluralitas bangsa Indonesia dan wujud pengabdian, serta pengamalan terhadap nilai-nilai pancasila sebagai ideologi bangsa “, tambah Nuril Arifin.



Collective consciousness
             Pentingnya kesadaran kolektif tentu disadari oleh semua pemeluk agama dalam menciptakan kerukunan diantara mereka. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tercipta harmonisasi dan persaudaraan antar umat beragama. Seperti yang terdapat di beberapa wilayah di Temanggung, Jawa tengah. Salah satunya adalah di desa kandangan yang masyarakatnya memilki tiga agama sebagai agama yang diterima oleh semua masyarakat setempat. Hal ini seperti yang dituturkan Fathoni yang merupakan tokoh muslim kandangan, bahwa kehidupan masyarakat berjalan dengan penuh penghargaan sebagai sesama manusia dan warga negara Indonesia. Sikap toleransi dan saling menghormati menjadi budaya masyarakat untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama.
           
Tanpa mengaburkan peranan pendidikan dalam masyarakat kandangan, konstruk masyarakat dengan tradisi dan pemahaman keagamaan yang baik, mampu menjadikan harmonisasi hubungan antar umat beragama ”, ungkap Rade Sulistio, tokoh umat Kristen kandangan. Dia menambahkan bahwa setiap agama sebenarnya mengajarkan kasih dan kedamaian serta agama tidak pernah menghendaki adanya pertikaian ataupun konflik-konflik atas nama agama. Kembali kepada ajaran agama yang murni dan komprehensif merupakan langkah yang sapatutnya perlu dilakukan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi.
Kehiduapan yang damai dan rukun juga dimilki masyarakat kaloran, Temanggung, dimana dusun ini pun memilki 4 agama resmi, yaitu Islam, Hindu, Budha dan Kristen. Namun, dalam keseharianya mereka tidak pernah menemui konflik yang menyebabkan keretakan hubungan antar umat beragama. Hal ini dibenarkan oleh pendeta Eni Wirliani, bahwa kerukunan yang tercipta memang terjalin karena tuntunan agama untuk saling kasih mengasihi dalam kehidupan bermasyarakat. “ Asalkan kita menerapkan ajaran-ajaran agama dengan benar, tidak akan terjadi konflik dan pertiakain, kerukunan dapat tercipta dengan kesadaran bersama untuk menerima perbedaan dan keragaman”, ujar Eni.
            Uraian tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Gus Nuril dalam menaggapi permasalahan konflik antar umat beragama, bahwa salah satu tantangan pluralisme saat ini adalah bentuk-bentuk kekerasan yang mulai muncul. Fenomena ini sebagai akibat ketidakpahaman oknum-okum tertentu dalam memahami ajaran agama. “ Memahami agama tidak hanya di level permukaan, tetapi juga sampai ke substansi dan nilai-nilai inheren-nya”, ujarnya. Dengan begitu tindakan anarkis yang berdasarkan fanatisme agama tidak akan muncul.
           
             Pendidikan yang berjalan pun harus mampu memberikan pembelajaran nilai-nilai moral, agama dan kebangsaan, serta tidak hanya memberikan informasi pengetahuan semata. Pendidikan agama harus berorientasi pada penanaman sikap empati, simpati dan solidaritas antar semama manusia. Pendidikan juga selalu dituntut untuk responsif, adaptif, dan inovatif terhadap berbagai persoalan yang terjadi dengan mengupayakan bentuk solusi yang tepat. Pembenahan kurikulum pendidikan nasional perlu diupayakan untuk mewujudkan perbaikan kualitas pendidikan yang berdiri diatas pluralitas masyarakatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar