Pendidikan Hukum ; Reorientasi pemahaman hukum substansial

Rabu, 18 Januari 2012

Pendidikan Hukum ; Reorientasi pemahaman hukum substansial




Sebagai sebuah Negara merdeka, Indonesia sudah selayaknya memilki aturan-aturan yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Hukum dengan segala konsekuensinya menjadi sebuah kebutuhan penting bagi bangsa Indonesia saat ini.
Konsepsi hukum tidak hanya dipahami hanya sebatas sebuah legalitas, namun juga dalam penerapanya menanamkan nilai-nilai moral dan keadilan bagi sebuah bangsa. Keadilan tersebut selayaknya mampu diwujudkan sebagai usaha bersama oleh para penegak hukum, lembaga tinggi hukum, institusi pendidikan hukum dan masyarakat.
Dengan demikian menjadi sebuah tanggung jawab bersama dari semua pihak untuk menciptakan tatanan Negara yang menjunjung tinggi hukum dan tercapainya keadilan hukum yang hakiki. Salah satu aspek mendasar dari persoalan tersebut salah satunya terletak pada proses transformasi nili-nilai luhur hukum dalam suatu pendidikan hukum.
Sejarah Pendidikan Hukum
            Pendidikan hukum yang berjalan di Indonesia ternyata tidak terlepas dari kondisi hukum bangsa ini dari masa ke masa. Guru besar Fakultas hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Marsudi Triatmodjo menyatakan bahwa salah satu kelemahan yang mendasar dari pendidikan hukum adalah adanya pergantian sistem dan kepemimpinan Negara yang fundamental. Sebut saja dari masa kolonial sampai pada era kemerdekaan yang masih menerapkan konsepsi hukum warisan belanda. Selanjutnya pada masa Soekarno yang menghendaki hukum yang dapat memenuhi tuntutan revolusi, sampai pada hukum harus memenuhi tuntutan pembagunan di era Soeharto.
            Hal tersebut menurut Marsudi, yang juga merupakan Dekan Fakultas hukum UGM ini, mempengaruhi proses jalanya pendidikan hukum yang ada di lembaga pendidikan  pada saat itu. “ Orientasi para ahli hukum yang merupakan lulusan sekolah-sekolah hukum hanya terbatas pada kebutuhan untuk mengisi jabatan-jabatan kosong di Republik yang baru tersebut. Selain juga permasalahan kurikulum dan konsep hukum positivistik warisan belanda yang masih diajarkan dalam pendidikan hukum saat itu.” Ulasnya.
            Meskipun keadaan tersebut merupakan sebuah keniscayaan, karena memang Indonesia baru menata sistem hukumnya untuk dijalankan. Namun menurutnya, keadaan pendidikan hukum saat itu berpengaruh besar terhadap nalar para ahli hukum yang cenderung bersifat legalistik, karena terpaku pada Burgerlijek wetboek dan Boek van koophandel yang merupakan kitab hukum warisan belanda. “ Jadi segala macam keputusan hukum disandarkan pada ketentuan kitab tersebut, bukan merupakan inovasi dan kreatifitas dari penegak hukum pada saat itu. Kecenderungan hukum yang tunduk dan patuh terhadap pemerintah membuatnya semakin menjadi birokratik” Tambah Marsudi.

Fungsi dan Peran Hukum
            Hukum dalam peranan dasarnya sebagai sebuah instrumen dari masyarakat untuk mengatur pola-pola hubungan dalam masyarakat, yang artinya hukum harus mampu mengatur hubungan sosial kemasyarakatan. Peran  tersebut tentu berkaitan langsung dengan ideologi, realitas dan budaya masyarakat sekitar. Hal tersebut seperti diugkapkan Fajrul Falaakh, yang merupakan anggota Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Menurutnya yang lebih esensi dari prosesi jalanya hukum yang berlaku adalah pada peranya untuk menciptakan keadilan bagi masyarakat dengan segala kompleksitasnya.
            Hal senada juga disampaikan Ani Purwanti, ketua  Asosiasi Pengajar Hukum Berspektif Gender Indonesia (APHBGI) bahwa hukum dalam urgensitas  peranya yaitu tidak hanya dipandang sebagai sebuah teori atau aturan semata, namun kesemuanya harus digali secara mendalam untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan hukum. “ hukum jangan dipahami secara sempit dan hanya terbatas pada aspek legal formal nya, namun juga harus mengkajinya lebih luas, sehingga bukan keadilan procedural yang dicapai, namun keadilan yang bersifat substansial.” Jelasnya.
Pendidikan Hukum Indonesia
            Kemajuan pendidikan hukum Indonesia menemui harapan cerahnya pada tahun 1947. Di beberapa daerah berdiri sekolah-sekolah hukum. Pasca ditutupnya sekolah hukum belanda Rechtshogeschool yang merupakan cikal bakal Fakultas hukum Universitas Indonesia (UI). Sementara di Jogjakarta berdiri Fakultas hukum pertama yang didirikan pemerintah Indonesia, atau yang sekarang dibawah naungan UGM. Hal tersebut semakin  dipertanyakan tentang peran lembaga pendidikan tinggi hukum tersebut dalam kehidupan bangsa Indonesia. Terlebih lagi dengan jumlah Fakultas hukum yang semakin bertambah sekitar 210 Fakultas hingga sekarang.
            Marsudi, yang juga lulusan Dalhousy University Canada ini menuturkan bahwa muncul permasalahan mendasar dalam pendidikan hukum yang berjalan hingga sekarang ini. Fakultas-Fakultas hukum di Indonesia pada awal mulanya tidak pernah berisikan ajaran dan kiat yang tepat untuk memahirkan para ahli hukum dalam persoalan pembuatan judge made laws (aturan hukum) yang baik. Pendidikan hukum Indonesia lebih banyak dalam soal metode menemukan dan menerapkan hukum saja; sedangkan kemahiran untuk bernalar guna menemukan atau sekurang-kurangnya untuk mereinterpretasi masih berada di angan-angan.  
            Negara Indonesia sebagai penganut sistem civil law kaitanya dengan jalanya pendidikan hukum lebih berorientasi pada pengembangan aspek akademisnya saja. Sementara praktek profesi dengan keahlian-keahlian hukum yang dimilki masih kurang. Lulusan tidak dipersiapkan untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis, dan mereka pun tidak dipersiapkan untuk  memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapai dengan bekal pengetahuan yang dimilki. Pernyataan tersebut seperti diungkapkan Halimah, seorang pakar hukum dari Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum (LABH) Jogjakarta saat ditemui di kantornya.
            Dia mengutarakan bahwa kenyataan tersebut juga dipengaruhi oleh praktik pendidikan hukum dan sistem hukum yang berlaku terdahaulu. Cara pandang seperti itu merupakan pengaruh suatu pemikiran yang merupakan warisan kolonial belanda, dimana pembinaan ketarampilan (professional skills) sangat diabaikan. Berbeda dengan sistem perguruan tinggi hukum (law school) di barat, pendidikan hukum diarahkan menjadi professional school (tempat mendidik ahli hukum). “ sehingga produk-produk intelektual hukum Indonesia memang baru sebatas memahami hukum dari satu aspeknya saja, yaitu terhadap penguasaan keilmuan hukumnya.” Terang Halimah.
Menanggapi persoalan diatas, dalam pembelajaran dan pendidikan hukum memiliki tiga aspek utama lazimnya sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan. Seperti diutarakan marsudi, yang juga menjabat sebagai Assesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) ini bahwa, pendidikan hukum yang seharusnya berjalan dan ada di lembaga pendidikan mencakup beberapa penerapan yang tepat.
Pertama, pada aspek kognitifnya, yaitu pematangan dan pemahaman hukum dari sisi pengetahuan keilmuannya (knowledge) secara baik dan mendalam. Kedua aspek afektifnya, yaitu pada pemahaman dan pendidikan tentang nilai-nilai yang terkandung dan diajarkan dari hukum itu sendiri. Nilai-nilai dipahami sebagai sebuah kajian mendalam tentang hakikat dari teori hukum yang diajarkan. Ketiga psikomotoriknya, yaitu pada implementasinya didalam kehidupan melalui keahlian-keahlian dan keterampilan (skills) yang dimilki para pelajar hukum di lembaga pendidikan hukum. Pengembangan aspek yang ketiga ini penting untuk konsep pendidikan hukum yang berorientasi pada praktek dan merespon kondisi zaman.
Di lain kesempatan, Fajrul Falaakh yang juga pernah menjadi anggota panitia seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menjelaskan jika pendidikan hukum di Indonesia belum memenuhi aspek afektif dan psikomotoriknya secara baik dan maksimal. Pendidikan hukumnya masih memilki kelemahan belum adanya pembedaan yang tegas pendidikan hukum akademis dengan profesi“ Walau pun sudah dilakukan perubahan dan perubahan untuk mengakomodir ketiganya, yaitu pemahaman keilmuan, nilai dan langkah-lagkah praktisnya, namun belum sepenuhnya mampu diterapkan dengan cermat dan menyeluruh.” Tandas Fajrul Falaakh.
Konsepsi Ilmu Hukum
            Untuk meningkatkan profesionalisme para penegak hukum, ahli hukum dan lembaga pendidikan hukum dituntut mampu menguasai ilmu hukum secara penuh dan baik. Sehingga kelemahan-kelemahan pendidikan hukum dapat diminimalisir untuk menghasilkan ahli-ahli hukum yang handal terhadap perkembangan zaman.
Ani Purwanti yang juga merupakan kepala bagian hukum dan masyarakat Universitas Diponegoro (Undip) ini menyatakan bahwa ilmu hukum memilki cakupan yang lebih luas dan mendalam. Melihat hukum bukan hanya sebuah aturan legal, melainkan meliputi berbagai aspek dan kajian penting tentang bagaimana peraturan dibuat, dilaksanakan dan dampak kedepanya. “ Ilmu hukum diberikan dalam bentuk teori-teori, sehingga ada tahap pengantar teori-teori hukum. Meskipun hukum adalah pada dasarnya aturan dan normatif, namun ada banyak teori untuk mengenali dan memahami aturan yang normatif tersebut.” Tutur Ani Purwanti.
Sedangkan menurut Fajrul Falaakh, implementasi dari pemahaman terhadap ilmu hukum dapat ditempuh dengan tiga hal yang mendasar. Pertama pemahaman hukum secara dogmatik, yaitu melalui dogma dan warisan-warisan budaya masa lampau. Pemahaman tersebut tidak terlalu meluas cakupanya karena hanya menerima secara mentah saja dogma-dogma tersebut. Kedua teoritik, yaitu memahami hukum secara teoritis dengan berbagai teori hukum dan prinsip dasar keilmuan tentang hukum. Dan yang ketiga adalah filosofis, yaitu proses memahami hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya dan menyeluruh. Dasar filosofis lah yang paling memungkinkan untuk seseorang dapat memahami ilmu hukum secara radikal dan komprehensif.
Idealitas Pendidikan Hukum
            Untuk mencapai taraf ideal pendidikan hukum terhadap segala macam persoalan yang ada menjadi tugas dan tanggung jawab bersama dari semua institusi hukum yang berwenang. Seperti yang dituturkan Marsudi Triatmodjo, bahwa diperlukan reorientasi tujuan pendidikan hukum yang mencakup tiga aspek penting diatas dan pemenuhan kebutuhanya terhadap masyarakat. Kepekaan dan keterampilan mutlak wajib dimilki oleh para ahli hukum yang lahir dari lembaga-lembaga pendidikan hukum.
            Marsudi menambahkan bahwa perbaikan yang dapat ditempuh diantaranya adalah pembenahan kurikulum. Kurikulum harus mengarahkan peserta didik pada pemahaman hukum secara luas (interdisipliner) dan mampu mejadikan peserta didik memilki keterampilan profesi hukum serta beorientasi pada pengembangan spesialisasi (kekhususan) pada sub disiplin kajian hukum tertentu.
            Ani Purwanti juga berpendapat bahwa pembelajaran hukum haruslah tidak mengarahkan peserta untuk terpaku pada aturan legalistik semata, namun diperlukan juga sentuhan untuk mengarahkan pada pemahaman hukum dan aturan secara mendalam. “ Pemahaman hukum yang seperti itu akan dapat lebih bertujuan untuk menciptakan cita-cita keadilan hukum bagi masyarakat seutuhnya, sehingga penegak hukum tidak memahami kasus hukum secara tekstual.” Tutur Ani.
            Di sisi yang lain Halimah menyatakan pula bahwa konsep dan sistem pendidikan hukum yang berlaku di era-era terdahulu sudah sepatutnya dikubur dalam-dalam. Hukum tidak dapat tunduk dengan penguasa yang berpotensi dengan adanya politisasi hukum. Intervensi tersebut dihilangkan dengan kreativitas dan inovasi para ahli hukum untuk menata hukum di Indonesia.
Hukum bagi Masyarakat
            Dampak besar peranan hukum salah satunya adalah pada pengaruhnya terhadap masyarakat.  “Dalam konteks masyarakat Indonesia yang membangun secara berencana, hukumlah lah yang harus membentuk kebiasaan atau pembentukan hukum justru harus mendahaului pelaksanaan pembangunan di lain bidang.” Hal tersebut seperti yang dikemukakan Fajrul Falaakh. Dia menuturkan pula bahwa untuk menjaga agar pembangunan masyarakat tidak menimbulkan ketidakadilan di masyarakat, melainkan tetap menegakan keadilan sekalipun hubungan masyarakat terus berkembang.
            Untuk menciptakan masyarakat yang sadar hukum kiranya diperlukan kesadaran dari berbagai pihak seperti pemerintah, lembaga-lembaga hukum dan institusi pendidikan hukum serta masyarakatnya. Hal tersebut dikuatkan dengan pernyataan Ani Purwanti bahwa ketika peraturan-peraturan yang ada berawal dari tujuan baik dengan lembaga pembuat peraturan yang bersih pula, niscaya masyarakat pun akan mampumeresponya dengan baik. “ sehingga akan tercipta masyarakat yang berkeadilan dengan hukum yang berlaku sesuai dengan ketentuan dan idealitas konsepsinya.” Tambahnya.
            Pendidikan hukum sebagai aspek utamanya merespon terhadap perkembangan zaman harus senantiasa memperbaharui tujuan dan cita-citanya yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. dengan konsepnya yang baru tentang fungsi hukum di tengah masyarakat yang sedang berevolusi dan mengkonstruksikan secara kreatif dan inovatif suatu struktur hukum yang baru, dan tidak cuma hendak berkutat pada misi dan fungsi hukum yang lama sebagai peneguh tatanan lama.
            pendidikan hukum di waktu-waktu yang akan datang juga akan  mampu mengemban suatu misi baru yang sekalipun lain namun tak kalah pentingnya.  Ialah untuk menghasilkan yuris-yuris dan ahli-ahli hukum baru yang tahu bagaimana mengadvokasi sekian banyak kepentingan massa awam yang warga masyarakat sipil, dengan efek yang diharapkan akan terberdayakannya masyarakat di hadapan aparat-aparat pemerintah.  Tugas untuk memasukkan kajian-kajian yang mengetengahkan asas-asas moral kemanusiaan ke dalam kurikulum Fakultas-Fakultas hukum  dengan misinya  yang terbaru ini, sudah barang tentu bukan merupakan tugas yang mudah.




              

Kamis, 14 Juli 2011

Eksklusifitas Pendidikan Agama dalam Pluralitas Bangsa Indonesia


Ekslusifitas Pendidikan Agama dalam Pluralitas Bangsa Indonesia

Indonesia merupakan negara pluralis, baik ras, suku, bahasa, adat istiadat, maupun agama. Wujud keberagaman itu disimbolkan melalui Bhineka Tunggal Ika yang mempunyai makna filosofi dalam kehidupan kebersamaan bagi masyarakat Indonesia, termasuk dalam konsep pendidikan yang ada. Pendidikan yang bertujuan untuk persaudaraan dan perdamaian.


            Maraknya konflik dan pertikaian yang terjadi dengan mengatas namakan agama, kerusuhan, terorisme dan pengrusakan tempat-tempat ibadah, merupakan beberapa contoh dari sikap keberagamaan yang masih saling mencurigai antara agama yang satu dengan yang lainya. Hal ini merupakan cerminan dari wujud kegagalan para pemuka agama yang seharusnya mengajarkan perdamaian. Haedar Nashir dalam bukunya Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern menyebutkan bahwa konflik yang muncul di Indonesia, antara lain dipengaruhi oleh stratifikasi sosial, kepentingan ekonomi dan politik, faham atau penafsiran agama, mobilitas keagamaan, dakwah umat dan keyakinan agama.
Dengan demikian pemicu konflik, lebih disebabkan karena persoalan agama. Dan ironisnya seringkali agama dijadikan alat propaganda dan legitimasi terhadap persoalan ekonomi dan politik. Sehingga agama kehilangan fungsinya sebagai penjaga cinta kasih dan keselamatan di tengah-tengah sistem sosial yang haus kekayaan dan kekuasaan. Melalui pengajaran agama, orang dapat menaburkan bibit kebencian dan menciptakan individu pemeluk agama tertentu masuk dalam bingkai sektarian untuk membenci pemeluk agama lain.

Kegagalan Pendidikan Agama
            XX yang merupakan pengasuh pondok pesanteren XX Salatiga menguraikan,   bahwa pendidikan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan individu dan masyarakat, merupakan salah satu media yang efektif untuk mewujudkan masyarakat yang dinamis di tengah pluralitas agama, dan sekaligus dapat memicu terjadinya konflik agama jika pendidikan dilakukan dengan cara yang tidak tepat. “ Melaui pendidikan, manusia diperkenalkan tentang eksistensi diri, hubunganya dengan sesama, alam dan Tuhanya. Sehingga idealnya pendidikan agama yang berlangsung selama ini, seharusnya dapat mengantisipasi dan mencari solusi terhadap terjadinya pertikaian, perselisihan dan konflik lainya yang berakar dari persoalan agama”, tambah XX.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan Abu Hafsin yang merupakan dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo, bahwa Pemahaman pluralisme secara sosiologislah yang sebenarnya perlu diterapkan, bahwa pendidikan harus mendasarkan pada keyakinan  jika negara ini dibangun atas keberagaman, berbagai macam aliran kepercayaan dan agama. “ Anak harus mengetahui sejak dini, bahwa kita tidak hidup dalam satu keyakinan agama dan negara bukan milik salah satu umat tertentu”, ujar Abu Hafsin.
            Abu Hafsin yang juga merupakan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa tengah menambahkan bahwa terdapat beberapa hal yang menyebabkan kegagalan pendidikan agama dalam menanggapi pluralitas bangsa Indonesia. Diantaranya, pendidikan agama yang tekstual dan inklusif, menekankan pembelajaran pada transfer of knowledge saja, bukanya penanaman nilai-nilai moral dan keagamaan kepada peserta didik. Selanjutnya, pendidikan agama tidak mengajarkan anak untuk menjadi pemeluk agama yang baik dan menghargai kemajemukan bangsanya, serta sikap apresiatif terhadap local wisdom. “ anak sudah diasingkan dari budayanya, pendidikan agama tidak mengajarkan toleransi ataupun nilai-nilai kasih sayang dalam menanggapi keberagaman”, ketus Abu Hafsin.
“ Hal penting yang sebenarnya dapat dilakukan adalah pendidikan agama perlu direkontruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi sosial, tidak semata-mata individual dan untuk memperkenalkan konsep social-contract. Sehingga pada diri peserta didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman, credo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan kehidupan bersama, mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerjasama (cooperation) dalam bentuk kontrak sosial antar sesama kelompok warga masyarakat”, seperti yang diungkapkan Syamsul Ma’arif dalam annual conference di lembang, Bandung.

Pendidikan Moral Pancasila
            Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dan toleransi serta mampu menjadi platform mutlak perlu dilakukan dalam kehidupan bangsa yang majemuk, sehingga upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang menerima keberagaman dapat tercapai.. “Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang merupakan transformasi dari pendidikan moral pancasila, seharusnya mampu dijadikan sebagai solusi dari permasalahan diatas. Dihapuskanya pendidikan pancasila dan kewarganegaraan menjadi hanya pendidikan kewarganegaraan di semua tingkat pendidikan mengakibatkan ditinggalkanya nilai-nilai pancasila, termasuk kerukunan dan toleransi antar umat beragama”, tegas Nuril Arifin.
            Gus Nuril Arifin yang merupakan pengasuh pondok pesantren soko tunggal Semarang ini mengungkapkan, bahwa pancasila hanya dimaknai secara seremonial dan belum mengakar di hati bangsa Indonesia. Pasca dihapuskanya pendidikan pancasila dan kewarganegaraan ini pun muncul kegelisahan dari beberapa pihak. Beberapa guru di semarang mengatakan bahwa sangat sulit kini untuk menanamkan nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong dan toleransi beragama kepada siswa, karena pendidikan kewarganegaraan lebih menekankan pada aspek hafalan dan wacana. “ Hal ini ditambah pula dengan materi yang diajarkan didalamya, seperti hakikat negara, bentuk-bentuk negara, sistem peradilan dan lembaga peradilan, bukanya mendidik karakter siswa untuk menghargai keberagaman bangsa dan toleransi antar umat beragama “ ungkap Zainal Abidin, guru PKn SMP 2 Semarang.
            Gus Nuril juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan mengkhianati dan justru mengabaikan nilai-nilai pancasila dalam praktik kebijakan pendidikan nasional. Pendidikan moral pancasila sebenarnya mengajarkan tentang nilai kebangsaan dan keteladanan untuk menerima keberagaman. “ Sudah sepatutnya pendidikan moral pancasila diberlakukan kembali, sebagai solusi pendidikan yang berdiri diatas pluralitas bangsa Indonesia dan wujud pengabdian, serta pengamalan terhadap nilai-nilai pancasila sebagai ideologi bangsa “, tambah Nuril Arifin.



Collective consciousness
             Pentingnya kesadaran kolektif tentu disadari oleh semua pemeluk agama dalam menciptakan kerukunan diantara mereka. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tercipta harmonisasi dan persaudaraan antar umat beragama. Seperti yang terdapat di beberapa wilayah di Temanggung, Jawa tengah. Salah satunya adalah di desa kandangan yang masyarakatnya memilki tiga agama sebagai agama yang diterima oleh semua masyarakat setempat. Hal ini seperti yang dituturkan Fathoni yang merupakan tokoh muslim kandangan, bahwa kehidupan masyarakat berjalan dengan penuh penghargaan sebagai sesama manusia dan warga negara Indonesia. Sikap toleransi dan saling menghormati menjadi budaya masyarakat untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama.
           
Tanpa mengaburkan peranan pendidikan dalam masyarakat kandangan, konstruk masyarakat dengan tradisi dan pemahaman keagamaan yang baik, mampu menjadikan harmonisasi hubungan antar umat beragama ”, ungkap Rade Sulistio, tokoh umat Kristen kandangan. Dia menambahkan bahwa setiap agama sebenarnya mengajarkan kasih dan kedamaian serta agama tidak pernah menghendaki adanya pertikaian ataupun konflik-konflik atas nama agama. Kembali kepada ajaran agama yang murni dan komprehensif merupakan langkah yang sapatutnya perlu dilakukan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi.
Kehiduapan yang damai dan rukun juga dimilki masyarakat kaloran, Temanggung, dimana dusun ini pun memilki 4 agama resmi, yaitu Islam, Hindu, Budha dan Kristen. Namun, dalam keseharianya mereka tidak pernah menemui konflik yang menyebabkan keretakan hubungan antar umat beragama. Hal ini dibenarkan oleh pendeta Eni Wirliani, bahwa kerukunan yang tercipta memang terjalin karena tuntunan agama untuk saling kasih mengasihi dalam kehidupan bermasyarakat. “ Asalkan kita menerapkan ajaran-ajaran agama dengan benar, tidak akan terjadi konflik dan pertiakain, kerukunan dapat tercipta dengan kesadaran bersama untuk menerima perbedaan dan keragaman”, ujar Eni.
            Uraian tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Gus Nuril dalam menaggapi permasalahan konflik antar umat beragama, bahwa salah satu tantangan pluralisme saat ini adalah bentuk-bentuk kekerasan yang mulai muncul. Fenomena ini sebagai akibat ketidakpahaman oknum-okum tertentu dalam memahami ajaran agama. “ Memahami agama tidak hanya di level permukaan, tetapi juga sampai ke substansi dan nilai-nilai inheren-nya”, ujarnya. Dengan begitu tindakan anarkis yang berdasarkan fanatisme agama tidak akan muncul.
           
             Pendidikan yang berjalan pun harus mampu memberikan pembelajaran nilai-nilai moral, agama dan kebangsaan, serta tidak hanya memberikan informasi pengetahuan semata. Pendidikan agama harus berorientasi pada penanaman sikap empati, simpati dan solidaritas antar semama manusia. Pendidikan juga selalu dituntut untuk responsif, adaptif, dan inovatif terhadap berbagai persoalan yang terjadi dengan mengupayakan bentuk solusi yang tepat. Pembenahan kurikulum pendidikan nasional perlu diupayakan untuk mewujudkan perbaikan kualitas pendidikan yang berdiri diatas pluralitas masyarakatnya.