Pendidikan Hukum ; Reorientasi pemahaman hukum substansial

Rabu, 27 April 2011

MEMBONGKAR PRAKTIK PLAGIARISME ILMIAH


Berbagai kasus penjiplakan yang menerpa dunia pendidikan mencermikan bobroknya moral insan pendidikan kita. Fenomena tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan ilmiah, sehingga harus ada sanksi tegas untuk memberikan efek jera bagi para pelaku plagiarisme.

Kasus penjiplakan atau sering disebut plagiarisme, yang dilakukan oleh Prof Dr. Anak Agung Banyu Perwita, seorang dosen ilmu hubungan internasional Univesitas Katholik Parahyangan(Unpar) menjadi topik  yang hangat dibicarakan di dunia pendidikan kita. Plagiat merupakan kegiatan mengambil atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya orang lain dan disiarkan sebagai karangan atau pendapat dan sebagainya sendiri(KBBI, 2005).
Kasus heboh ini muncul ketika artikel yang ditulis Prof. Dr. AABP dengan judul “ RI as a New MIdlle Power” dan dimuat di harian The Jakarta Post, artikel itu ternyata merupakan hasil  jiplakan dari artikel karya Carl Ungerer yang berjudul "The Middle Power Concept in Australia Foreign Policy"dan diterbitkan oleh Australian Journal of Politic and History volume 53 Nomor 4 tahun 2007. Selain kasus itu, muncul lagi dugaan kasus penjiplakan juga yang dilakukan oleh dua calon Guru besar perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, berkas pengajuan gelar Guru Besar mereka dianggap menjiplak karya mahasiswa strata satu (Kompas 18/2/2010).
Di kalangan mahasiswa plagiarisme bukan merupakan hal yang baru lagi, misalnya budaya copy-paste sebagai efek dari makin meluasnya akses internet yang menyajikan karya-karya ilmah, dan sering dijadikan sebagai alternatif mahasiswa dalam mengerjakan tugas kuliah. Mereka terkadang lebih menyukai sesuatu yang instan, hal ini terbukti dengan makin banyaknya mahaiswa yang memakai jasa pembuatan skripsi dan tesis yang  marak seperti di Jakarta, Yogjakarta,Bandung dan daerah-daerah lain di Indonesia. Seperti yang diungkapkan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prof Edy Suandi Hamid, bahwa penjiplakan bagai fenomena gunung es, kasus yang tak ketahuan atau pura-pura tak diketahui jauh lebih banyak. Ketika ketahuan, cara menangkisnya juga beragam.( http://www.datafilehost.com/download-d8a6a607.html)     
Kegiatan korupsi ilmah ini juga tidak hanya melanda perguruan tinggi saja, hal yang mengejutkan juga datang dari para pahlawan tanpa tanda jasa dari Riau, seperti dimuat di harian Analisa (10/2), sebanyak 1820 Guru di daerah tersebut melakukan pemalsuan karya ilmiah untuk melengkapi persyaratan dalam Penetapan angka Kredit (PAK), ini bertujuan guna mengajukan kenaikan pangkat. Namun akhirnya kedok mereka tercium , dan mereka terancam dicopot dari jabatanya.
Gambaran singkat tentang kasus-kasus plagiarisme di dunia pendidikan kita semestinya menjadi masalah yang harus dikaji bersama oleh insan  pendidikan, Dinas Pendidkan Nasional sebagai instansi terkait bertanggung jawab dalam mewujudkan pendidikan yang bermoral. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal tersebut menyatakan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Sebuah tujuan mulia pendidikan nasional yang sangat bertolak belakang dengan beberapa kasus plagiarisme yang banyak terungkap sekarang.    


Motif Plagiarisme
   Maraknya kasus plagiarisme yang dilakukan para akademisi  seakan menggambarkan buruknya citra pendidikan bangsa kita. Mereka yang seharusnya menjadi punggawa dalam memajukan pendidikan di negara ini justru menodai kesucian tanggung jawab mereka dengan melakukan hal yang tidak terpuji. Tindakan yang tidak bermoral itu biasanya dilatar belakangi oleh berbagai sebab yang akhirnya membuat pelaku menghalalkan kegiatan penjiplakan.
Kecenderungan para pendidik kita untuk memperoleh gelar akademik atau pangkat yang lebih tinggi merupakan salah satu motif dari kegiatan penjiplakan. Namun hal yang sebenarnya bisa memacu produktivitas dan kreativitas para akademisi dalam menghasilkan karya ilmiah sering dibenturkan dengan alasan perbaikan ekonomi yang menjadi tujuan mereka, dan pada akhirnya banyak yang menggunakan jalan pintas seperti kasus yang menimpa AABP dan para guru di Riau.
 Hal yang mendasari para guru melakukan plagiarisme, misalnya keterbatasan kemampuan dan waktu  mereka dalam menulis karya ilmiah, karena dalam pembuatan karya ilmah membutuhkan penyelidikan dan waktu yang lama.  Kemampuan menulis yang tidak dimiliki semua guru juga dapat menjadi latar belakang untuk melegalkan kegiatan mereka. Kuliah dan latihan-latihan dalam pembuatan karya ilmiah tidak banyak didapatkan selama masa belajar di kampus.
Kriteria Plagiarisme
            Setelah membaca dari berbagai motif yang menyertai lahirnya plagiarisme yang dilakukan oleh para akademisi kita, lantas seperti apa sebenarnya batasan-batasan suatu karya ilmiah dikatakan sebagai hasil menjiplak. Felicia Utorodewo dkk, dalam buku Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah menggolongkan hal-hal berikut sebagai plagiarisme, seperti mengakui tulisan dan gagasan orang lain sebagai tulisan dan hasil pemikiran sendiri. Mengakui temuan orang lain dan karya kelompok sebagai kepunyaan atau hasil sendiri juga merupakan penjiplakan.
 Felicia juga menyebutkan 3 hal lain  yang termasuk sebagai kriteria penjiplakan. Pertama, menyajikan tulisan yang sama dalam kesempatan yang berbeda, tanpa menyebutkan asal-usulnya. Kedua, meringkas dan memparafrasekan (mengutip tidak langsung) tanpa menyebutkan sumbernya. Ketiga, meringkas dan memparafrasekan dengan menyebut sumbernya, tetapi rangkaian kalimat dan pilihan katanya masih terlalu sama dengan sumbernya.
            Kriteria tersebut sudah cukup jelas untuk memberikan batasan-batasan seseorang dalam membuat sebuah karya ilmiah. Namun menurut felicia ada beberapa hal yang tidak dapat dikatakan sebagai tindakan plagiat, diantaranya menggunakan informasi yang berupa fakta umum, menuliskan kembali (dengan mengubah kalimat atau paraphrase) opini orang lain dengan memberikan sumber jelas, mengutip secukupnya tulisan orang lain dengan memberikan tanda batas jelas bagian kutipan dan menuliskan sumbernya.
Sanksi Hukum Plagiarisme
            Indonesia adalah negara hukum, yang segala tindakan masyarakatnya diatur dan diawasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi yang terjadi saat ini adalah para plagiator cenderung lebih sering dijatuhi sanksi administratif saja, yang tidak tegas dan tidak menimbulkan efek jera bagi mereka. Seperti kabar pencopotan gelar guru besar Prof AABP, kewenangan itu hanya bisa dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional(Mendiknas), karena mendiknaslah yang memberikan gelar tersebut, perguruan tinggi hanya mengusulkan pengajuan gelar para dosenya saja.
            Undang-undang kita sebenarnya mengatur dalam penanganan kasus korupsi ilmiah ini. Undang-undang Hak Atas Kekayaan Intelektual(HAKI) yang seharusnya menjadi dasar pemikiran para akademisi kita sebelum bertindak. Seperti yang disebutkan pada pasal 14-18 UU HAKI tahun 2002 bahwa Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidkan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya.
            Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima milyar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
            Hal lain yang perlu diperhatikan bahwa kebanyakan civitas akademika tidak mengerti tentang UU tersebut dan belum adanya bank data yang menampung semua karya ilmiah yang dihasilkan di Indonesia. Ini adalah pekerjaan besar bagi pihak yang berkepentingan meski harus diakui bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) sudah membuat rambu-rambu sanksi.
Kasus yang menimpa seorang Guru besar di Universitas Parahyangan, Bandung (Kompas, 10/2/2010), dan skandal sejenis yang melibatkan beberapa akademisi sebelumnya ataupun sesudahnya  dapat dijadikan pelajaran tentang bagaimana kita seharusnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam tindakan atau kita perlu membaca kembali kata-kata Soe Hok Gie dalam bukunya, Catatan Harian Seorang Demonstran yang mengatakan,’’lebih baik saya diasingkan daripada harus menjadi seorang munafik’’.