Pendidikan Hukum ; Reorientasi pemahaman hukum substansial

Kamis, 14 Juli 2011

Eksklusifitas Pendidikan Agama dalam Pluralitas Bangsa Indonesia


Ekslusifitas Pendidikan Agama dalam Pluralitas Bangsa Indonesia

Indonesia merupakan negara pluralis, baik ras, suku, bahasa, adat istiadat, maupun agama. Wujud keberagaman itu disimbolkan melalui Bhineka Tunggal Ika yang mempunyai makna filosofi dalam kehidupan kebersamaan bagi masyarakat Indonesia, termasuk dalam konsep pendidikan yang ada. Pendidikan yang bertujuan untuk persaudaraan dan perdamaian.


            Maraknya konflik dan pertikaian yang terjadi dengan mengatas namakan agama, kerusuhan, terorisme dan pengrusakan tempat-tempat ibadah, merupakan beberapa contoh dari sikap keberagamaan yang masih saling mencurigai antara agama yang satu dengan yang lainya. Hal ini merupakan cerminan dari wujud kegagalan para pemuka agama yang seharusnya mengajarkan perdamaian. Haedar Nashir dalam bukunya Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern menyebutkan bahwa konflik yang muncul di Indonesia, antara lain dipengaruhi oleh stratifikasi sosial, kepentingan ekonomi dan politik, faham atau penafsiran agama, mobilitas keagamaan, dakwah umat dan keyakinan agama.
Dengan demikian pemicu konflik, lebih disebabkan karena persoalan agama. Dan ironisnya seringkali agama dijadikan alat propaganda dan legitimasi terhadap persoalan ekonomi dan politik. Sehingga agama kehilangan fungsinya sebagai penjaga cinta kasih dan keselamatan di tengah-tengah sistem sosial yang haus kekayaan dan kekuasaan. Melalui pengajaran agama, orang dapat menaburkan bibit kebencian dan menciptakan individu pemeluk agama tertentu masuk dalam bingkai sektarian untuk membenci pemeluk agama lain.

Kegagalan Pendidikan Agama
            XX yang merupakan pengasuh pondok pesanteren XX Salatiga menguraikan,   bahwa pendidikan sebagai proses pemberdayaan dan pembudayaan individu dan masyarakat, merupakan salah satu media yang efektif untuk mewujudkan masyarakat yang dinamis di tengah pluralitas agama, dan sekaligus dapat memicu terjadinya konflik agama jika pendidikan dilakukan dengan cara yang tidak tepat. “ Melaui pendidikan, manusia diperkenalkan tentang eksistensi diri, hubunganya dengan sesama, alam dan Tuhanya. Sehingga idealnya pendidikan agama yang berlangsung selama ini, seharusnya dapat mengantisipasi dan mencari solusi terhadap terjadinya pertikaian, perselisihan dan konflik lainya yang berakar dari persoalan agama”, tambah XX.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan Abu Hafsin yang merupakan dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo, bahwa Pemahaman pluralisme secara sosiologislah yang sebenarnya perlu diterapkan, bahwa pendidikan harus mendasarkan pada keyakinan  jika negara ini dibangun atas keberagaman, berbagai macam aliran kepercayaan dan agama. “ Anak harus mengetahui sejak dini, bahwa kita tidak hidup dalam satu keyakinan agama dan negara bukan milik salah satu umat tertentu”, ujar Abu Hafsin.
            Abu Hafsin yang juga merupakan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa tengah menambahkan bahwa terdapat beberapa hal yang menyebabkan kegagalan pendidikan agama dalam menanggapi pluralitas bangsa Indonesia. Diantaranya, pendidikan agama yang tekstual dan inklusif, menekankan pembelajaran pada transfer of knowledge saja, bukanya penanaman nilai-nilai moral dan keagamaan kepada peserta didik. Selanjutnya, pendidikan agama tidak mengajarkan anak untuk menjadi pemeluk agama yang baik dan menghargai kemajemukan bangsanya, serta sikap apresiatif terhadap local wisdom. “ anak sudah diasingkan dari budayanya, pendidikan agama tidak mengajarkan toleransi ataupun nilai-nilai kasih sayang dalam menanggapi keberagaman”, ketus Abu Hafsin.
“ Hal penting yang sebenarnya dapat dilakukan adalah pendidikan agama perlu direkontruksi kembali, agar lebih menekankan proses edukasi sosial, tidak semata-mata individual dan untuk memperkenalkan konsep social-contract. Sehingga pada diri peserta didik tertanam suatu keyakinan, bahwa kita semua sejak semula memang berbeda-beda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang akidah, iman, credo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan kehidupan bersama, mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerjasama (cooperation) dalam bentuk kontrak sosial antar sesama kelompok warga masyarakat”, seperti yang diungkapkan Syamsul Ma’arif dalam annual conference di lembang, Bandung.

Pendidikan Moral Pancasila
            Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kebangsaan dan toleransi serta mampu menjadi platform mutlak perlu dilakukan dalam kehidupan bangsa yang majemuk, sehingga upaya untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang menerima keberagaman dapat tercapai.. “Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan yang merupakan transformasi dari pendidikan moral pancasila, seharusnya mampu dijadikan sebagai solusi dari permasalahan diatas. Dihapuskanya pendidikan pancasila dan kewarganegaraan menjadi hanya pendidikan kewarganegaraan di semua tingkat pendidikan mengakibatkan ditinggalkanya nilai-nilai pancasila, termasuk kerukunan dan toleransi antar umat beragama”, tegas Nuril Arifin.
            Gus Nuril Arifin yang merupakan pengasuh pondok pesantren soko tunggal Semarang ini mengungkapkan, bahwa pancasila hanya dimaknai secara seremonial dan belum mengakar di hati bangsa Indonesia. Pasca dihapuskanya pendidikan pancasila dan kewarganegaraan ini pun muncul kegelisahan dari beberapa pihak. Beberapa guru di semarang mengatakan bahwa sangat sulit kini untuk menanamkan nilai-nilai seperti musyawarah, gotong royong dan toleransi beragama kepada siswa, karena pendidikan kewarganegaraan lebih menekankan pada aspek hafalan dan wacana. “ Hal ini ditambah pula dengan materi yang diajarkan didalamya, seperti hakikat negara, bentuk-bentuk negara, sistem peradilan dan lembaga peradilan, bukanya mendidik karakter siswa untuk menghargai keberagaman bangsa dan toleransi antar umat beragama “ ungkap Zainal Abidin, guru PKn SMP 2 Semarang.
            Gus Nuril juga menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan mengkhianati dan justru mengabaikan nilai-nilai pancasila dalam praktik kebijakan pendidikan nasional. Pendidikan moral pancasila sebenarnya mengajarkan tentang nilai kebangsaan dan keteladanan untuk menerima keberagaman. “ Sudah sepatutnya pendidikan moral pancasila diberlakukan kembali, sebagai solusi pendidikan yang berdiri diatas pluralitas bangsa Indonesia dan wujud pengabdian, serta pengamalan terhadap nilai-nilai pancasila sebagai ideologi bangsa “, tambah Nuril Arifin.



Collective consciousness
             Pentingnya kesadaran kolektif tentu disadari oleh semua pemeluk agama dalam menciptakan kerukunan diantara mereka. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat tercipta harmonisasi dan persaudaraan antar umat beragama. Seperti yang terdapat di beberapa wilayah di Temanggung, Jawa tengah. Salah satunya adalah di desa kandangan yang masyarakatnya memilki tiga agama sebagai agama yang diterima oleh semua masyarakat setempat. Hal ini seperti yang dituturkan Fathoni yang merupakan tokoh muslim kandangan, bahwa kehidupan masyarakat berjalan dengan penuh penghargaan sebagai sesama manusia dan warga negara Indonesia. Sikap toleransi dan saling menghormati menjadi budaya masyarakat untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama.
           
Tanpa mengaburkan peranan pendidikan dalam masyarakat kandangan, konstruk masyarakat dengan tradisi dan pemahaman keagamaan yang baik, mampu menjadikan harmonisasi hubungan antar umat beragama ”, ungkap Rade Sulistio, tokoh umat Kristen kandangan. Dia menambahkan bahwa setiap agama sebenarnya mengajarkan kasih dan kedamaian serta agama tidak pernah menghendaki adanya pertikaian ataupun konflik-konflik atas nama agama. Kembali kepada ajaran agama yang murni dan komprehensif merupakan langkah yang sapatutnya perlu dilakukan untuk menciptakan perdamaian di muka bumi.
Kehiduapan yang damai dan rukun juga dimilki masyarakat kaloran, Temanggung, dimana dusun ini pun memilki 4 agama resmi, yaitu Islam, Hindu, Budha dan Kristen. Namun, dalam keseharianya mereka tidak pernah menemui konflik yang menyebabkan keretakan hubungan antar umat beragama. Hal ini dibenarkan oleh pendeta Eni Wirliani, bahwa kerukunan yang tercipta memang terjalin karena tuntunan agama untuk saling kasih mengasihi dalam kehidupan bermasyarakat. “ Asalkan kita menerapkan ajaran-ajaran agama dengan benar, tidak akan terjadi konflik dan pertiakain, kerukunan dapat tercipta dengan kesadaran bersama untuk menerima perbedaan dan keragaman”, ujar Eni.
            Uraian tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Gus Nuril dalam menaggapi permasalahan konflik antar umat beragama, bahwa salah satu tantangan pluralisme saat ini adalah bentuk-bentuk kekerasan yang mulai muncul. Fenomena ini sebagai akibat ketidakpahaman oknum-okum tertentu dalam memahami ajaran agama. “ Memahami agama tidak hanya di level permukaan, tetapi juga sampai ke substansi dan nilai-nilai inheren-nya”, ujarnya. Dengan begitu tindakan anarkis yang berdasarkan fanatisme agama tidak akan muncul.
           
             Pendidikan yang berjalan pun harus mampu memberikan pembelajaran nilai-nilai moral, agama dan kebangsaan, serta tidak hanya memberikan informasi pengetahuan semata. Pendidikan agama harus berorientasi pada penanaman sikap empati, simpati dan solidaritas antar semama manusia. Pendidikan juga selalu dituntut untuk responsif, adaptif, dan inovatif terhadap berbagai persoalan yang terjadi dengan mengupayakan bentuk solusi yang tepat. Pembenahan kurikulum pendidikan nasional perlu diupayakan untuk mewujudkan perbaikan kualitas pendidikan yang berdiri diatas pluralitas masyarakatnya.

Rabu, 04 Mei 2011

Pendidikan Mahal, Pencetak Buruh

Pendidikan Mahal Pencetak Buruh 
 
Pendidikan seyogyanya memerdekakan, pendidikan adalah untuk semua, adil, merata dan anti diskriminasi (Ki Hajar Dewantara)

Senin 2 mei 2011

Tepat kita memperingati hari pendidikan nasional, namun ternyata banyaknya masalah yang dihadapi bangsa ini semakin menjadi benang kusut yang sulit terurai. Semangat Ki Hajar Dewantara yang kita agung-agungkan seakan luntur menjadi semangat tempe yang lemah dan lembek untuk memajukan sektor pendidikan di negeri ini. Pemerintah kita hanya mengadopsi konsep-konsep impor yang multi kepentingan dari skenario global negara-negara barat.

”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah. Ini sangat beretentangan dengan UUD 1945 dalam pembukaan alinea IV yang menjelaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan bangsanya, bukan menjadikan pendidikan sebagai komoditi baru demi kepentingan penguasa.

Kapitalisasi pendidikan

Melalui kebijakan “membadan usahakan dunia pendidikan”, pendidikan dihadapkan pada biaya yang sangat mahal. Kebijakan yang mulai diterapkan di berbagai institusi pendidikan menghendaki adanya kebabasan bagi sekolah untuk menjalankan managemennya secara pribadi, sekolah bebas mematok harga sebesar yang mereka inginkan, karena memberikan kekuasaan yang penuh kepada institusi pendidikan tersebut. Masyarakat miskinlah yang lagi-lagi menjadi korban dan hanya bisa bermimpi untuk mengenyam pendidikan yang tinggi. 
 
Pendidikan untuk mencetak buruh

Ironisnya, pendidikan yang berjalan dinegeri ini mulai mengarahkan siswanya menjadi pekerja dan bermental menghamba. Seperti maraknya pendidikan-pendidikan profesi (SMK) sekarang ini. Bangsa kita hendak dicetak sebagai bangsa kelas bawah dan pelayan bagi bangsa-bangsa lain. Hal ini jelas merupakan konsep-konsep impor dari barat untuk tetap menegakkan dominasinya terhadap negeri ini melalui pendidikanya, karena pendidikan menjadi aspek penting pembangunan moral bangsa. 

Inilah potret suram pendidikan di indonesia, maraknya penyimpangan yang terjadi telah menciderai akan tujuan pendidikan yang sebenarnya, yaitu untuk menjadikan bangsa indonesia menjadi cerdas dan bernartabat. Semoga bisa lebih baik.


Minggu, 01 Mei 2011

Teori Strukturasi Anthony Giddens

Teori Strukturasi Anthony Giddens (1938-)[1]
Oleh : Lilis Yuliani[2]

            Strukturasi merupakan teori yang dikembangkan oleh Anthony Giddens sebagai jalan tengah untuk mengakomodasi dominasi struktur atau kekuatan sosial dengan pelaku tindakan(agen). Ini dijadikan sebagai penengah perdebatan kencang antara strukturalisme dan subyektivisme. Strukturalisme yang menekankan pada dominasi peran struktur di dalam kehidupan sosial dan menjadi kekuatan sosial yang mampu mencengkram dan mengendalikan individu-individu secara penuh.[3]
Sedangkan hal ini berbanding terbalik dengan konsep subyektivisme yang lebih menekankan pada peran dan tindakan individu aktif sebagai faktor dominan dalam suatu tatanan kehidupan sosial, karena individu bertindak sebagai agen. Akhirnya strukturasi muncul dengan gagasan-gagasan baru diluar perdebatan dualitas diatas. Teori ini beranggapan bahwa antara agen dan struktur  memiliki peran yang sama dan signifikan di dalam realitas sosial.
Teori strukturasi sendiri mengajarkan konsep tentang individu yang dikatakan sebagai aktor (agency) yang memiliki peran untuk meproduksi dan mereproduksi struktur dalam tatanan ssosial yang mapan. Jadi agen mampu untuk merubah dan menghasilkan struktur-struktur baru jika tidak menemukan kepuasan dari struktur yang sudah ada sebelumya. Struktur merupakan seperangkat aturan (rule) dan sumber daya (resource) atau seperangkat hubungan transformasi yang diorganisasikan secara rekursif sebagai sifat-sifat sosial.
Menurut Giddens, struktur lahir atas beberapa kesadaran sebagai hasil dari pengaruh kejadian sehari-hari dalam konteks tindakan sosial yang dilakukan secara terus menerus (rekursif)). Kita mengenal keadaran praktis dan diskursif serta keadaan tidak sadar. Kesadaran praktis sendiri terdiri atas semua hal yang aktor-aktor mengetahui secara diam-diam tanpa dapat memberi mereka pernyataan diskursif secara langsung.
Sementara itu, kesadaran diskursif (diskursive conciousnes) berarti kemampuan meletakkan sesuatu dalam kata-kata. Sedangkan tidak sadar (unconciousnes) dalam konteks teori psikoanalisis memiliki referensi pada lawan dari kesadaran diskursif atau memiliki pengertian sebagai tidak dapat memberikan ungkapan verbal pada ketepatan tindakan.[4]
Struktur juga terbentuk karena adanya tradisi, institusi, aturan moral serta cara-cara mapan melakukan sesuatu, dan hal ini semata-mata merupakan akibat yang ditimbulkan dari tindakan agen. Terbentuknya struktur juga membutuhkan waktu yang panjang, karena melewati satuan waktu dengan tidak membatasi pada ruang-ruang tertentu.[5]
Giddens juga menyatakan konsep rutinisasi. Rutin, hal apapun yang dikerjakan dengan kebiasaan, merupakan elemen paling dasar dari aktivitas sosial sehari-hari. Rutinisasi merupakan hal penting dalam mekanisme psikologis, yaitu rasa percaya atau keselamatan ontologis dilanggengkan dalam aktivitas kehidupan sosial sehari-hari. Dengan membawa secara utama kesadaran praktis, kerutinan berarti menggerakkan sebuah baji, antara isi yang secara potensial eksplosif dari kesadaran dan monitoring refleksif dari tindakan saat agen tersebut ditampilkan.[6]
Dalam teori inipun struktur mempunyai peran yang penting terhadap individu, yaitu membatasi (constrainig) serta membuka kemungkinan (enabling) bagi tindakan agen. Jadi melalui aturan-aturan yang ada, struktur mampu mengekang kebebasan yang dimilki oleh agen. Struktur dalam konteks tindakan sosial berperan sebagai sarana (medium) dan sumber daya (resource) bagi tindakan sosial yang kemudian memebentuk sistem dan institusi sosial.
Strukturasi tidak melepaskan diri dari pembahasan konsep ruang dan waktu dalam kehidupan sosial yang berjalan utamanya pada struktur masyarakat. Giddens melihat aktivitas sosial selalu dijadikan dalam waktu-waktu sebagai berikut. Pertama, secara temporal atau bersifat sementara. Kedua, secara paradigmatik, yaitu membangkitkan struktur yang ditampilkan dalam bentuk contoh-contoh. Ketiga, secara spasial, yaitu berhubungan berhubungan dengan ruang dan tempat. Masing-masing hubungan sangat penting untuk memahami perubahan sosial, karena ketiganya berpengaruh secara kuat pada rentang (jarak) tindakan yang mungkin untuk agen-agen.
Contoh analisis terkait ruang dan waktu ini adalah globalisasi. Ia merupakan transformasi ruang dan waktu karena, sekalipun berjarak antarlokasi yang ditempati individu jelas mampu mempengaruhi pihak lain. Dengan demikian, tindakan-tindakan individu berimplikasi pada kehidupan global. Kebiasaan makan di indonesia misalnya, tidak saja akan mempengaruhi perusahaan-perusahaan waralaba yang ada di indonesia, tetapi juga perusahaan-perusahaan waralaba yang beroperasi di Eropa maupun Amerika.[7]
Dari semua hipotesis tersebut, strukturasi melihat sisi kehidupan sosial tidak dari sisi struktur semata, melainkan melibatkan individu-individu sebagai agen. Implikasinya adalah dalam melihat masalah-masalah sosial yang terjadi Giddens mengajarkan bahwa idealnya manusia  harus memperhatikan kedua komponen tersebut.



[1]  Merupakan topik pembahasan dalam diskusi rutin SURAU, kamis 28 April 2011 di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
[2]  Pemateri, yang merupakan mahasiswi aktif S1  jurusan Tadris Kimia semester II Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
[3] Hidayat Nataatmadja. Membedah The Third of Way Anthony Giddens.(Jakarta:LASEP).,hlm. 4
[4] Rahmat K. Dwi Susilo.20 tokoh sosiologi modern.(Jogjakarta : Arruz media).,hlm. 414
[5]  Ibid.,hlm. 415
[6] Giddens, Anthony.The Third way. (Jakarta:Gramedia).,hlm 56
[7] Giddens, Anthony. Masyarakat Post-Tradisional.(Jogjakarta:ircisod)., hlm 35

Good Governance Vis a vis Civil Society

Good Governance Vis a vis Civil Society[1]
Oleh : M. Busro Asmuni[2]

Bayang-bayang dan harapan akan bentuk pemerintahan yang baik mungkin masih melekat dibenak rakyat yang masih sangat merindukan akan kemerdekaan yang sejati. Pemerintahan yang dijalankan oleh para pemimpin yang mampu memberikan jaminan akan hak-hak rakyatnya, serta tidak membiarkan rakatnya menjadi golongan kelas yang termarjinalkan. Kemampuan memimpin itu harus mampu diwujudkan dalam heterogenitas kehidupan masyarakatnya.[3]
Seperti halnya dalam konsep good governance yang muncul sebagai gagasan baru dan hendak memberikan pukulan telak terhadap pemerintahan yang terlalu menindas rakyatnya. Konsep ini juga ingin mengurangi dominansi peran negara dalam peranya menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat juga memiliki kemampuan untuk mengatur, mengawasi dan peran yang sentral dalam kehidupan, jadi tidak adanya disfungsi peran masyarakat dalam suatu negara karena rakyat tidak hanya menjadi objek kebijakan, melainkan aktor penentu kebijkan tersebut.
Good governance memiliki prinsip-prinsip dasar untuk mewujudkan tujuanya dalam menegakkan kesetaraan peran rakyat dan negara. Diantaranya, visi strategis, partisipasi, transparansi, kesetaraan, akuntabilitas & pengawasan, serta tegaknya legislasi. Visi strategis dipahami sebagai tujuan yang jelas dan terarah dari pemerintahan good governance. Transparansi dan partisipasi jelas menunjukan adanya keseimbangan peran dari negara dan rakyatnya melalui keterbukaan semua akses informasi dan adanya partisipasi aktif dari rakyat dalam pengambilan keputusan melalui kebebasan berkumpul dan berpendapat, jadi tercipta check and balances dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akuntabilitas dan pengawasan diwujudkan pemerintah dalam mempertanggung jawabkan hasil kerjanya kepada rakyat yang merupakan konstituenya, karena rakyat mempunyai funsi pengawasan terhadap kenerja pemerintahan yang sedang berjalan. Muara dari konsep good governance adalah pada tegaknya legislasi, artinya bahwa pemerintah dan rakyat bersama dalam membuat aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan yang disepakati dan dijalankan sebagai usaha bersama dalam menjalankan pemerintahan.
Tiga komponen penting dari tegaknya good governance yaitu pemerintah, sektor usaha swasta dan masyarakat madani (civil society). Pemerintah sebagai tidak berdiri sendiri diatas, melainkan sejajar peranya dengan sektor swasta dan civil society. Dalam menjalankan kekuasanya pemerintah mutlak harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan komponen-komponen lainya. Sektor swasta yang merupakan badan usaha yang dikelola masyarakat diluar badan usaha negara yang bertujuan bersama-sama pemerintah mengawal dan memajukan perekonomian negara.
Civil society yang merupakan sebuah tatanan sosial yang menginginkan kesetaraan jelas menjadi komponen penting dalam konsep good governance. Kekuatan rakyat (people power) yang merupakan supremasi civil society menunjukan rakyat yang berperan aktif bersama negara dalam menjalankan kehidupan. Pilar-pilar dalam civil societypun sudah merepresentasikan prinsip-prinsip di dalam good governance seperti terwujudnya kehidupan yang demokratis, transparan dan seimbang antar rakyat dan Negara.
Sekilas kita membaca semua analisis konsep tersebut, good governance menjanjikan sesuatu yang sangat ideal bagi pemerintahan sebuah negara, namun banyak hal yang sebenarnya terkandung di dalam gagasan ini. Kenyataanya konsep ini sudah menjadi ideologi yang multi kepentingan, yang diekspor hampir kesetiap negara untuk mensukseskan skenario global dari negara-negara dunia pertama. Melalui analisis yang mendalam kita akan mengetahui bahwa gagasan-gagasan yang ditawarkan good governance bercirikan kapitalistik, pemetaan yang dilakukan untuk meminimalisir peran negara terhadap semua sektor mesti dibagi menjadi sepet tiga, artnya harus ada kesamarataan dari stiap sektor termasuk negara. Ideologi inilah yang digunakan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank untuk menguasai semua sektor-sektor penting  yang dimiliki negara-negara dunia ketiga.[4]
Prinsip-prinsip yang terkandung di dalam good governance hanya menjadi persoalan yuridis saja, karena tujuan yang dimiliki adalah pengahapusan peran negara dan menghendaki peran yang dominan dari rakyat dan sektor swasta. Agenda terselubungnya adalah penegakkan prinsip-prinsip neoliberalisme bagi negara-negara konsumen good governance. Prinsip-prinsip neoliberalisme diantaranya adalah privatisasi, deregulasi dan liberalisasi. Semua itu pasti akan muncul dan marak di negara-negara tersebut, seperti banyaknya aset-aset penting negara yang dimiliki pribadi atau swasta. Contoh kecil adalah di Indonesia, dimana banyak aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi menjadi milik Negara, melainkan dikelola oleh swasta dibawah kendali perusahaan-perusahaan transnasional, seperti Danone, Free port, Epson mobile dll.[5]


Kebebasan yang dimiliki individu diluar Negara menjadikan ideologi ini sebagai kendaraan globalisasi dalam ranah pemerintahan. Karena jika negara sudah menjadi lemah, negara   dan rakyat akan selalu berhadap-hadapan dan negara-negara dari dunia pertama akan mudah melakukan ekspansi dan menjajah negara-negara di dunia ketiga dalam segala sektor. Karena tujuanya adalah penipuan dunia terhadap negara-negara konsumen good governance.
   Kekuatan yang dimiliki masyarakat madani (civil society) menjadi kekuatan kedua setelah negara, karena negara tidak mempunyai peran yang dominan dan penuh untuk mengendalikan rakyatnya. Good governance hanya menjadi permainan teorotis dari otak-otak penggagasnya untuk menguasai dunia. Kebaikan-kebaikan yang ditawarkan hanya merupakan kebaikan-kebaikan palsu yang sarat akan kepentigan besar dalam konteks globalisasi.




[1]  Merupakan tema dalam diskusi rutin SURAU, kamis 21 April 2011 di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
[2]  Pemateri, merupakan mahasiswa aktif S1 jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultaas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
[3] Roby Purniawan. Dalam sebuah artikel tentang mewujudkan good student government. Last update Wednesday 20 Oktober 2010.
[4]  Evaluasi terhadap pemateri dari Fava Yohanes terkait pembahasan good governance dalam diskusi SURAU.
[5] Contoh yang diberikan pemateri menanggapi kasus-kasus akibat konsep good governance

Nation State Vis a vis Civil Society

Nation State Vis a vis Civil Society[1]
Oleh : Mohammad Andi Hakim[2]

            Diskursus tentang pemahaman wawasan kebangsaan mutlak diperlukan dalam kehidupan manusia pada umumnya. Manusia merupakan aktor utama dalam pelaksanaan segala bentuk teori kehidupan yang ada disekitarnya, seperti pemahaman tentang politik, negara dan bangsa. Pemahaman lain yang juga perlu dikaji adalah bagaimana idealnya hubungan suatu negara bangsa dengan kemajemukan masyarakatnya dalam konsep masyarakat madani (civuil society).
Harold J. Laski : “ Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebig agung dari pada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu maupun oleh asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan memaikat “[3]
Terlepas dari berbabagai definisi para ahli tentang negara, dapat ditarik benang merah bahwa negara merupakan sebuah lembaga politik yang bersifat abstrak. Artinya bahwa negara bukanlah wilayah, masyarakat atau bendera, namun sebuah lembaga yang terstruktur dan terbentuk dari beberapa komponen-komponen penting seperti pemerintah dan lembaga-lembaga penyelenggara negara. Presiden atau raja dalam suatu negara merupakan simbol dari konsekuensi sifat negara yang abstrak, darinya kewenangan dan kontrol dijalankan untuk menyelenggarakan kepemimpinan dalam suatu negara.
Konsep dasar pemahaman tentang negara pada awalnya mengarahkan pada kewenangan yang penuh dan mutlak yang dimiliki seorang raja atau pemimpin dalam suatu negara, yakni negara memmpunyai sifat memaksa, monopoli dan sifat mencakup semua (all-encompassing, all-embracing). Hal ini yang nantinya menjadikan banyak ketimpangan dan penyalahgunaan kepemimpinan yang dilakukan para raja-raja terdahulu.
Menyambung dari paragraf ketiga bahwa wilayah, penduduk, pemerintah hanya merupakn unsur-unsur dalam suatu negara. Hal ini dipahami sebagai komponen-komponen penting dan syarat mutlak berdirinya suatu negara. Negara akhirnya harus dapat mewujudkan tujuan sebenarnya yakni mewujudkan kebahaiaan bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common weal).[4]
Di dalam pembahasan tentang negara yang ideal, kita tidak bisa melepaskan pula pembahasan tentang bangsa, karena salah satu komponen dalam suatu negara adalah masyarakat yang mendiami suatu wilayah negara. Suku-suku atau orang-orang yang disebut sebagai warga negara mempunyai peran yang signifikan di dalam menjalankan suatu negara, karena pemahaman tentang bangsa lebih mendalam jika dibandingkan dengan negara . Kita dapat mengkaji apa sebenranya yang terkandung dalam konsep bangsa berikut ini :
B. Anderson : Bangsa suatu komunitas yang dibayangkan (Imagined Community), karena di dalam bangsa satu individu dengan individu yang lain tidak mengenal, namun mereka membayangkan adanya ikatan atau keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Dari proses membayangkan itulah tercipta suatu kesadaran bersama tentang identitas suatu masyarakat dalam suatu negara, sehingga nampak dan terlihat semakin jelas.
Ernest Reinant : Bangsa merupakan sesuatu yang bersifat kejiwaan (something spiritual) yang dimiliki oleh setiap oarang dalam suatu wilayah untuk hidup bersama dengan mengabaikan batasan-batasan primordial antara individu, sekte-sekte atau golongan. Jadi yang ada hanyalah kesatuan dan pemahaman bersama bahwa secara spiritual mereka disatuakan dalam suatu wilayah yang lazim disebut sebagai wilayah suatu negara.[5]
Jadi dapat kita pahami bersama jika bangsa mempunyai kekuatan yang besar dalam jalanya suatu negara, artinya bahwa bangsa merupakan salah satu komponen penting dalam intergrasi sebuah negara. Tanpa adanya kekuatan untuk bersama membangun kesadaran bersama yang nantinya mengukuhkan sebagai identitas diri, tujuan berdirinya suatu negara hanya akan menjadi khayalan-khayalan yang utopis belaka. Lantas bagaimana sebenarnya korelasi antara negara dan bangsa atau konsep negara bangsa?.
Negara bangsa (Nation State) yang kita  pahami sebagai sebuah konsep merupakan suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa. Dengan kata lain negara bangsa adalah negara untuk seluruh umat yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. Tujuan Negara bangsa ialah mewujudkan maslahat umum, suatu konsep tentang kebaikan yang meliputi seluruh warga negara tanpa kecuali.
Dalam realitas Indonesia kekinian pelaksanaan konsep atau tepatnya subtansi negara bangsa belum dijalankan dengan komitmen yang sungguh-sungguh. Ada golongan yang sangat kaya tetapi lebih banyak yang miskin. Kesejahteraan belum merata. Keadilan belum ditegakkan secara sungguh-sungguh. Pemerintah, pengusaha maupun politisi belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat secara keseluruhan. Pemerintah menggadaikan asset bangsa kepada Negara asing dan seterusnya.[6]
Konsep negara bangsa muncul dalam sejarahnya diakarenakan keprihatinan akan banyaknya penindasan dan diskriminasi terhadap hak-hak masyarakat dalam suatu negara. Konsep ini dijadikan jalan untuk menghilangkan kediktatoran rezim yang berkuasa dan tidak berpihak kepada rakyat. Negara tidak mampu memberikan jaminan kepada seluruh masyarakatnya yang notabenenya terdiria atas bangsa-bangsa yang majemuk (plural).
Negara bangsa atau dalam istilah lain disebut sebagai negara kebangsaan, bertujuan untuk menjadikan negara bagi seluruh bangsa, yang berarti hilangnya batasan-batasan primordial dan sekterian. Dapat pula dikatakan menghapus dikotomi pluralitas agama, keyakinan, komunitas yang komunal dan disatukan dalam satu identitas kebangsaan yang jelas.[7]
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika konsep nation state dihadapkan dengan gagasan civil society ?. karena efektifitas suatu gagasan tentang negara bangsa adalah bagaimana konsep tersebut mampu menyentuh langsung dalam ranah gress root masyarakat dalam suatu negara, serta dapat dirasakan manfaatnya sebagai perwujudan sistem pemerintahan yang adil dan menjamin hak-hak seluruh bangsanya.
Pertama, yang perlu dibredel terlebih dahulu adalah maksud yang diinginkan dari civil society, bahwa konsep tersebut mendambakan suatu tatanan sosial yang mengagungkan kesetaraan. Karena di dalam civil society, warga negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-govermental untuk mencapai kebaikan bersama (public good). Karena itu, tekanan sentral civil society adalah terletak pada independensinya terhadap negara (vis a vis the state). Dari sinilah civil society dipahami sebagai akar dan awal keterkaitanya dengan demokrasi dan demokratisasi.[8]
Dalam konsep tersebut, masyarakat sebagai komponen yang penting dalam suatu negara mempunyai hak-hak sebagai warga negara (citizen rights) untuk mengontrol jalanya pemerintahan. Jadi pemerintah tidak bisa sewenang-wenang memperlakukan rakyatnya, atau dengan kata lain ada jaminan yang jelas bagi masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya.
Kita juga dapat membaca bahwa ukuran suatu masyarakat telah menerapkan konsep civil society adalah pada penegakkan unsur-unsurnya, seperti adanya ruang publik yang bebas untuk menyampaikan pendapat (free public sphere), terwujudnya kehidupan yang demokratis, adanya toleransi yakni saling menghormati dan menghargai aktivitas orang lain, serta terciptanya sikap saling menghargai kemajemukan dalam suatu masyarakatnya (pluralitas masyarakat). Semua itu dapat diwujudkan melalui pilr-pilar civil society seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan tinggi, supremasi hukum dan adanya partai politik.
Semua konsep dasar tersebut tidak dapat dipungkiri keunggulanya. Artinya bahwa kita akan benar-benar merasakan proses kehidupan yang adil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, hal itu belum dapat menjawab berbagai macam fakta dilapangan bahwa konsep-konsep tersebut akan menjadi ancaman yang menakutkan bagi keutuhan negara bangsa.[9]
Hal terpenting yang bisa disimpulkan dari konsep civil society atau dengan kata lain supremasi civil society adalah pada gerakan masyarakatnya (people power). Gerakan tersebut merupakan konsekuensi dari segala macam kebebasan yang dimiliki oleh masyarakat dalam menjalankan kehidupanya, karena negara tidak lagi mempunyai kendali penuh untuk mengatur rakyatnya. Penegakan pilar-pilar yang semakin menjamur dapat berakibat pada gerakan-gerakan separatis yang mengancam integrasi bangsa.
Negara bangsa mengandalkan ikatan yang begitu kuat antar warga negaranya, tidak ada lagi sekte dan batasan primordial, namun hal ini akan berbanding terbalik dengan konsekuensi yang ditimbulkan dari konsep civil society yang sebenarnya akan menghancurkan harapan-harapan dari negara bangsa. Wujud dari gerakan-gerakan people power adalah lahirnya komunitas-komunitas atau perkumpulan-perkumpulan, dimana mereka juga mempunyai struktur, visi dan misi, serta memiliki tujuan bersama dari para pengikutnya. Keberadaan mereka dapat mengancam penguasa negara, karena komunitas tersebut kini menjadi penguasa diluar negara yang sewaktu-waktu dapat memunculkan gerakan besar atas nama komunitasnya.
Para pengikut komunitas atau perkumpilan tersebut tidak lagi membawa identitas mereka sebagai bangsa, melainkan sebagai anggota komunitas yang dapat menggerogoti identitas kebangsaan. Akibat jangka panjangnya adalah munculnya golongan-golongan baru yang berdasar ats visi misi dan ideologi baru tanpa mengamalkan ideologi yang diamanatkan negara padanya, dan keutuhan suatu negara seakan berada di ujung tanduk perpecahan.
Dalam skala besar misalnya munculnya organisasi-organisasi antar bangsa seperti ASEAN, UNI Eropa dll yang mulai membangun kekuatan bersama diluar negara dan mampu memberikan kendali terhadap anggota-anggotanya. Inilah yang dijelaskan sebgai akibat dari kebebasan dan pemberian jaminan hak yang penuh, namun sering kali disalah gunakan dan dap menjadi boomerang bagi integritas bangsa.
Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa konsep negara bangsa memang memberiakan sesuatu yang berharga bagi kehidupan umat manusia yang bertindak sebagai warga negara, dan hal ini harus diselaraskan dengan pelaksanaan dan penerapan yang bertanggung jawab dalam civil siciety, dan tidak menyimpang serta berlebihan, hanya karena beberapa pihak yang berkepentingan.  



[1]  Merupakan tema dalam diskusi rutin SURAU kamis 14 April 2011
[2] Mahasiswa program S1 Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo semarang dibidang bahasa inggris dan merupakan direktur forum diskusi SURAU
[3] Tim PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani (Jakarta:IAIN Jakarta Press,2000). Hlm. 48
[4] Ibid., hlm. 54
[5] Disampaikan oleh Fava Yahanes, dalam sesi diskusi sekolah kader PMII Rayon Tarbiyah, membhas tentang Relasi Negara dengan Masyarakat.
[6] Nurkholis Majid, Indonesia kita.(Jakarta : 2003).
[7] Disampaikan dalam diskusi rutin SURAU kamis 14 april 2010 dalam sesi tanggapan terhadap presentator.
[8] Ibid.,hlm.151
[9] Ibid., hlm 152